Rinduku pada pulang

Temanggung, 29 Januari 2018




"Sejauh apapun kamu melangkah, akan kupastikan kamu pulang ke rumah" 

Hari ini sejuk. Dingin. Dan menyenangkan.
Hari ini, pada waktu ini, saat menulis cerita ini, aku sedang duduk di sudut kamarku, ditemani dengan segelas teh dan gerimis air hujan. Jangan salah. Gerimis di sini berbeda dengan gerimis-gerimis yang pernah ada di kota lain. Rintiknya yang mengenai atap rumah, seolah menyiratkan cerita pada siapa saja yang pernah mengalami masa lalu dengan hujan. Hingga akhirnya, hujan dan gerimis selalu dinobatkan sebagai simbol cerita masa lalu, dan selalu mengingatkan pada siapa saja yang punya kenangan dengan hujan, dan orang yang terlibat di dalamnya. Hujanku, segelas teh, dan kenanganku. Inilah dia.


Temanggung memang tak pernah lupa memberikan kesejukannya kepada siapapun yang pulang untuk sekadar melepas kerinduan. Temanggung yang dingin bahkan selalu memberikan kehangatan kepada setiap orang yang ingin mendapatkannya. Temanggung adalah tempat menyembuhkan luka rindu yang menyayat pada setiap orang yang sedang berjuang di tanah perantauan. Berbicara Temanggung berarti berbicara tentang sumbing-sindoro, tembakau, kopi arabika dan robusta, setinan, gobag sodor, jilumpet, nasi jagung, cethil, halte telkom, terminal lama, serta jalan kartini dan kenangannya.

Mengapa jalan kartini? Ya. Tempat sekolah menengahku berada. Aku menamatkan pendidikan di SMPN 1 Temanggung tahun 2013 dan SMAN 1 Temanggung tahun 2016. Keduanya di jalan kartini, berarti selama enam tahun juga aku berada di jalan kartini, hingga hapal setiap sudut dan lekuknya, dari lapangan atletik, bakso olala yang selalu jadi langganan traktiran dari mas toso kalau latihan pramuka, warung DSS dan warnetnya (dulu masih ada warnet), alfa.net tempat nyari tugas bahasa indonesia saat kelas 7 (sekarang sudah jadi tempat fitness), mas bee tempat cetak foto dan banner kalo pramuka ngadain acara, warung pak agus depan SMP tempat nongkrong anak-anak cowok buat nunggu angkot C atau D, bakso ceker, bakwan kawi, atau mungkin es cincau yang selalu jadi langganan jajanan di depan SMA. Eh tambah lagi, cimol dan cireng yang tak kalah jadi langganan.



Mungkin naif dan berlebihan dan kau menganggap aku menggambarkan temanggung seperti itu karena aku lahir di kota ini. Namun, aku kira semua orang akan membanggakan kota kelahirannya, kecuali dia yang tak pernah bangga. Aku kira semua orang akan merindukan kota kelahirannya, kecuali yang tak pernah rindu. Walau kadang, sebagian orang yang lahir dan besar di kota yang berbeda, mungkin akan lebih merindukan kota tempat mereka dibesarkan. Namun terserah, bagiku yang lahir dan besar di Temanggung, mungkin hanya kota ini yang pantas mendapatkan rindu dari seseorang seperti aku. Ah kota ini, selalu mengingatkan padaku tentang masa SMP dan SMA yang begitu menawan. Terlalu banyak sukanya ketimbang dukanya. Dan juga tentang masa SD yang begitu menyenangkan, di saat belajar bukanlah suatu tuntutan dan menerbangkan layangan adalah hal yang wajar.


"Menemanggungkan diri" adalah istilah yang kupakai ketika aku dan pulang disatukan. Membawa tubuh ini intuk ingin cepat jumpa dengan tanah kelahiran. Karena hanya pulang yang bisa membawaku merasa damai. Merasa bahagia. Dan merasa dimanjakan. Mungkin begitulah yang dirasakan mahasiswa baru yang sedang merantau di kampus perjuangannya. Bukan begitu. Lebih tepatnya, mungkin itulah yang dirasakan anak-anak Temanggung yang baru lulus SMA, harus rela meninggalkan keindahan Temanggung dan harus mau "berpindah" ke kota lain, untuk mengejar secercah harapan yang memang takdirnya harapan itu adalah wujud cita-cita yang harus diperjuangkan. Meninggalkan Temanggung yang berarti meninggalkan teman-teman sekolah, meninggalkan keluarga di rumah, meninggalkan warganya yang ramah, meninggalkan kota kecil yang berada di kaki gunung Sumbing yang dikelilingi dengan kali dan sawah.

Dan di sela-sela pulang, aku selalu menyempatkan bertemu dengan kawan-kawan lama. Entah hanya sekadar jumpa atau sekadar menikmati mie ayam yang selalu menjadi makanan favorit kala sekolah.
Bahagia. Walau tak sebahagia kala itu. Namun setidaknya pertemuan selalu menjadi caraku memutar memori mengenang indahnya masa sekolah. Lebih tepatnya, mengenang kerasnya perjuangan di masa sekolah.  Tapi selalu ada kawan-kawan yang membuatku merasa perjuangan itu tidak sekeras yang aku pikirkan,  dan perjuangan itu melunak dengan sendirinya dipoles dengan cerita sekolah yang begitu lucu dan menarik untuk dikenang. Tidak dapat dipungkiri. Memang benar kata almarhum Chrisye, tiada kisah paling indah, kisah-kasih di sekolah. Dan tiada masa paling indah, masa-masa di sekolah. Aku kira semua orang setuju dengan hal ini.

Sampai saat ini, aku menulis di paragraf ini, di luar masih hujan.
Adikku baru saja pulang sekolah dengan seragam putih abu-abunya yang kehujanan.
Oh, kasian. Tapi biarlah. Suatu saat dia pasti akan merindukan masa-masa ini.
Layaknya kakaknya sekarang :)


kelas 8 SMP, Regu Pramuka Inti. Coba tebak aku yang mana?

Foto buku kenangan kelas 9 SMP
Ulang tahun Bu Ika, guru kimia dan wali kelas 11 MS 1
Acara 17 Agustus di SMA
Buka puasa SMA bersama, sebelum ke perantauan masing-masing

Kelas 10, seusai pelajaran Matematika


Komentar

Posting Komentar